MENGASAH KEPEKAAN LEWAT PUISI MELEWATI NGARAI PERBUKUAN

Berawal dari Puisi
Minat awal saya adalah menulis puisi. Sejak kelas 1 SMA saya sudah mulai menulis Puisi. Namun proses sampai bisa menulis puisi sudah lama sebelumnya. Sejak kelas 2 SD saya sudah senang membaca majalah KUNANG-KUNANG, sebuah majalah anak-anak terbitan Arnoldus Ende. Majalah ini datang bersamaan dengan Mingguan DIAN yang juga milik para imam SVD dan diterbitkan di percetakan Arnoldus. Kegemaran membaca ini telah membantu saya untuk menyerap banyak kosa kata, lalu berlatih untuk merangkai-rangkai kata menjadi sebuah puisi.
Keberanian untuk menulis puisi baru terjadi saat sekolah di Seminari mulai tahun 1990. Dengan dukungan perpustakaan dan suasana yang memungkinkan saya untuk berekspresi, saya mulai menulis puisi dengan aneka tema. Saya ingat tema pertama yang saya tulis adalah tentang Bukit Sasa yang dingin (bukit di dekat Seminari). Isi persisnya sudah lupa karena sudah dua puluhan tahun silam. Ada juga tema sosial politik yang pernah saya bacakan sendiri dalam acara malam kebangsaan di depan para pejabat daerah, mulai dari bupati sampai camat).
Kecintaan pada puisi makin berkembang ketika mulai masuk novisiat (tempat para calon imam). Karena banyak waktu untuk membaca dan merenung, maka banyak puisi-puisi religi yang ditulis untuk refleksi diri. Selain itu karena terlibat dalam pendampingan terhadap para buruh di Ungaran, saya menulis pula puisi-puisi perjuangan kaum buruh.
Aku Seorang Anak Manusia 3
Jeritan Para Pekerja, Kaum Buruh
Aku seorang anak manusia Ingin dihormati martabatku
Meski aku hanya seorang pekerja biasa Yang diupah…
Aku tidak hiraukan kebijakan baru
Bahwa upahku dinaikkan seperti manager

Penuh lapang aku tinggalkan tempat kerjaku
Namun….
Kuterpana melihat cacing menggeliat
Bukan panas…
Kebebasannya dirampas oleh deringan
Kemajuan eden yang menjadi edan
Kemerdekaannya digerogoti ancaman
Kutangisi diriku dijadikan Sapi Perah Secara Ilegal (SPSI)
Penuh rayuan Pokoknya Harus Kerja (PHK)
Dengan tunjangan Upah Manusiawiku Raib (UMR)


Hilanglah jejak merdeka leluhurku
Tapi diambil negara atau siapa?
Bukankah menjadi pekerja, bangsa sendiri akan jaya?
Aku termenung
Aku tercenung
Merenung dalam heningnya diriku


Apakah aku harus diam saja?
Biarkan diriku ditindas?
Menonton keadilanku dirampas?
Pekik teriakku kembali menggelegar
Seperti petir menyambar
Burung bayangan yang melayang terbang
Tanpa daya tiada merdeka
Menegakkan persamaan hak dan perlakuan manusiawi.
Salatiga, akhir 1994

Puisi di atas berangkat dari keprihatinan terhadap situasi buruh pada tahun 1990-an yang begitu marak dengan berbagai tekanan baik dari penguasa maupun pengusaha. Para buruh hanya dianggap sebagai “mesin-mesin” produksi tanpa perasaan yang tugasnya hanyalah menghasilkan barang dan jasa. Selebihnya cukup diam saja kalau mau aman dan selamat.
Meski saat itu saya seorang frater novis di dalam biara, tetapi tidak menutup mata terhadap berbagai persoalan yang terjadi dalam masyarakat. Dan karena kami para novis berkesempatan 2 minggu sekali mendampingi buruh-buruh Katolik di Ungaran, kami dilatih untuk memiliki kepekaan dan kepedulian sosial.
Puisi menjadi sarana menyuarakan nyanyian jiwa masyarakat. Memang tidak mudah merangkai keprihatinan itu dalam kata-kata yang singkat. Tetapi menurut pengalaman saya, ini justru langkah termudah untuk menulis. Puisi lebih leluasa mengekspresikan isi hati dan pikiran. Bahkan ketika sudah kuliah di Yogyakarta, puisi-puisi saya rutin mengisi majalah REFLEKSI, sebuah majalah yang menyuarakan keprihatinan sosial Gereja Kristen Jawa di Solo. Sayang sekali majalah ini sudah tiada!
Dan lebih menyayangkan lagi, aneka kumpulan puisi yang ditulis antara tahun 1992-1998 ini hilang dan rusak dalam sebuah Hardisk A (saat komputer masih program lama) ketika saya menjalani tahun orientasi pastoral (TOP) selama dua tahun di Madagascar. Jejak-jejak puisi tidak terlacak, tidak seperti sekarang yang bisa dititipkan di media sosial: Facebook atau email. Meski demikian, kesenangan saya pada puisi terus berlanjut hingga sekarang.
Menulis Cerpen
Selain aktif menulis puisi, saya belajar menulis cerpen dan opini. Ketika pertama kalinya mengirim cerpen ke Majalah Hidup tahun 1996 dan dimuat, ada rasa bangga yang luar biasa. Saat itu saya masih semester 3. Dari pengalaman itu saya terus termotivasi untuk menulis cerpen, entah dikirim ke media, entah untuk majalah internal, atau untuk catatan harian.
Menulis Cerpen menurut pengalaman saya hampir sama. Bermula dari keprihatinan tertentu, lalu membuat tema sebagai misi yang hendak disampaikan kepada pembaca, menciptakan setting masalah/tempat, membayangkan ending. Sebelumnya tentu menentukan tokoh-tokoh yang berperan sesuai dengan misi yang hendak disampaikan. Berikut Cerpen tentang bahaya AIDS yang pernah dimuat di Mingguan DIAN di Flores.
Cerpen ini bermula dari keprihatinan akan adanya korban HIV/AIDS yang marah atas situasi hidupnya. Dia seorang yang taat dan lurus hidupnya. Dia berontak dan marah pada Tuhan. Saya berusaha menggambarkan adanya sindikat penyebar AIDS keliling yang bisa mengancam siapa saja. Mereka bisa menggunakan keramaian untuk menyebarkan virus mematikan ini. Dengan cerpen ini saya bermaksud untuk mengajak pembaca waspada terhadap sesuatu yang belum terjadi, tetapi bisa terjadi dan menimpa siapa saja.
Selain itu, melalui cerpen ini saya hendak menunjukkan bahwa korban apapun dalam masyarakat selalu dijauhkan, dilecehkan dan diremehkan. Saya hendak menegaskan bahwa penyakit bisa menimpa siapa saja. Kita boleh menjauhkan penyakit, tetapi tetap mendekati dan menyayangi korbannya.
AIDS KELILING...
Fredo Benoit Jogoena
“Pergilah wahai pembawa sial...kau telah menodai keluarga kita dengan penyakitmu. Pergi kau anak terkutuk..anak tidak tahu berterima kasih pada keluarga. Teganya kau membawa penyakit itu ke sini. Pergilah....kau telah hidup begitu bebas dan liar. Lihat akibatnya...kau mengidap penyakit yang memalukan dan tidak pernah ada dalam sejarah keluarga kita,” teriak ayahku ketika dia tahu aku mengidap penyakit yang sangat berbahaya dan belum ada penangkalnya itu.
Aku menangis sejadi-jadinya. Sudah divonis mengidap penyakit mematikan, eh masih dicaci dan diusir dari keluargaku. Tak pernah kubayangkan akan menerima semuanya ini. Apakah dosa dan salahku Tuhan? Masihkah Kau mencari Ayub-Ayub di zaman modern ini? Jika demikian, masih berapa juta orang tak berdosa seperti aku yang akan Kau cobai dengan penyakit ini?
Aku terus meronta dan mengadu pada Tuhan. Mengapa dia ciptakan aku hanya untuk mengalami derita semacam ini. Air mata terus membasahi pipiku sampai aku tak sadarkan diri di sudut kamarku yang telah dibuat khusus oleh ayah. Aku dibuatkan kamar tersendiri di luar rumah induk agar tidak menulari orang lain. Aku dipasung bagai orang gila.
Aku tidak boleh ditengok oleh siapapun, bahkan bila ada orang yang mencari aku, “neraka” akan segera menyala dalam keluargaku. Para sahabat dan kenalan tidak pernah lagi datang dan menemani aku. Jangankan menjenguk, menyebut namaku saja sudah suatu aib tersendiri. Tak kusangka para sahabat yang pernah berjanji akan saling menemani dalam untung dan malang, suka dan duka, sehat dan sakit...kini telah raib dari hadapanku. Duniaku menjadi dunia yang gelap dan terpasung, terbuang... dunia yang tergenang lumpur beracun yang terus meluber dalam hidupku tanpa kuasa aku tolak. Ya aku kini bagai terbenam dalam genangan lumpur dengan kaki yang tak bisa terangkat. Makin lama lumpur itu kian tinggi dan mulai membenam hidupku. Tapi yang kusesali...mengapa aku tidak lenyap saja bersama lumpur ini?.........
Saya sempat mengalami kesulitan untuk mencari bahan pendukung yang menyatakan bahaya semacam ini ada dan bisa terjadi. Cerpen itu tidak melulu fiksi dan imajinasi, tetapi sesuatu yang nyata, sesuatu yang bisa menimpa siapa saja. Proses penulisan cerpen sepanjang 8 halaman ini memakan waktu hampir 1,5 bulan. Ini termasuk cerpen terlama yang saya tulis. Tetapi sungguh menyenangkan karena bisa menggugah kewaspadaan pembaca untuk situasi-situasi yang mematikan.
Kesulitan utama dalam menulis cerpen adalah tidak setia dengan tema dasar yang hendak disampaikan, sehingga gagal untuk diselesaikan. Kalau konsisten dengan tema awal, dengan setting masalahnya, maka kita akan terbantu untuk terus focus pada penulisan cerpen. Sedangkan ending yang dipilih tergantung dari pesan utamanya. Apakah berupa open ending sehingga orang diajak berpikir dan menemukan solusi? Ataukah berupa pilihan sikap: sad/happy ending, sehingga pembaca langsung menemukan kesimpulan yang kita tawarkan?
Bagaimana supaya kita bisa menulis cerpen? Pertama, bacalah banyak-banyak cerpen orang lain. Kedua, berlatih, berlatih dan terus berlatih menulis sebuah cerpen sampai menjadi sebuah kebiasaan. Dengan demikian ritme dan kepekaan kita untuk mengolah sesuatu menjadi sebuah cerpen dapat dibiasakan, ditingkatkan, dipertajam dengan semakin banyak jam terbang.
Mengedit Sambil Menolong Penulis
Sejak tahun 2003, setelah mengambil sebuah keputusan amat berani dalam hidupku, mulailah saya mengakrabi diri sebagai seorang editor di penerbit sebuah lembaga Dialog Antariman. Di sini, di lembaga ini kesenangan dan hobby saya untuk menulis semakin menemukan ritmenya. Selain sebagai editor saya juga menulis berita dan editorial. Selain itu saya menyunting berbagai hasil seminar dan pelatihan menjadi buku. Yang paling monumental justru ketika saya berinisiatif mengumpulkan semua tulisan, hasil rekaman pembicaraan pendiri utama lembaga itu menjadi sebuah buku berdasarkan periodisasi perkembangan pemikiran sang pendiri. Buku itu kemudian diterbitkan setelah saya sudah tidak di situ lagi. Ada rasa bangga bisa menghasilkan suatu karya besar tanpa menikmati hasilnya, meski tidak diakui secara terus terang dan jujur oleh para penerus di situ.
Penajaman diri sebagai editor semakin berkembang ketika saya bekerja sebagai editor di sebuah penerbit swasta katolik yang tidak saja menerbitkan buku-buku rohani tetapi aneka buku umum lainnya. Di tempat ini, saya menemukan keasyikan yang menggembirakan dan menantang secara positif. Rupanya bidang yang digeluti sangat cocok dengan latar belakang kuliah sebelumnya. Di sini saya berjumpa dengan puluhan penulis dengan ratusan naskah yang berbeda.
Rasanya begitu asyik menikmati berbagai cara berpikir penulis. Sebagai editor saya berperan tidak saja bagaimana sebuah naskah itu bisa terbit, tetapi juga ikut membantu penulis untuk semakin berkembang dalam menulis.
Dengan membaca naskah buku seseorang, editor terpanggil untuk membantu penulis menemukan kekurangan tulisannya dan memberikan solusi-solusi baik perbaikan isi buku tersebut, maupun untuk peningkatan daya kritis penulis untuk penulisan buku-buku selanjutnya.
Editor yang baik itu tidak tanggung-tanggung untuk berkata TIDAK pada sebuah tulisan yang memang jelek dan menunjukkan kejelekan/kekurangan itu pada penulisnya. Ia juga akan dengan senang hati memberikan apresiasi atas sebuah naskah yang memang baik, penuh kejutan dan tentu saja berdaya ubah bagi pembaca.
Menuliskan Yang Monumental
Setelah lama menggeluti naskah dan tulisan orang lain, saya tertarik untuk menulis buku sendiri. Ada kegemasan tersendiri bila tidak menulis buku. Mengapa hanya melayani orang lain? Cobalah layani diri sendiri. Dari situ saya mulai berani menerbitkan tulisan sendiri. Meski sebagai editor yang punya kuasa menerbitkan naskah orang lain, saya tetap meminta pandangan dan pertimbangan editor lain.
Buku pertama yang saya tulis lebih sebagai sebuah solusi atas pengalaman dan pergulatan iman pribadi. Ya pergulatan untuk tetap setia pada Yesus dan Gereja-Nya atau pilihan tetap setia pada Yesus tetapi tidak pada Gereja-Nya.
Pergulatan itu melahirkan buku berjudul Berbahagialah Yang Tidak Melihat Namun Percaya (2005). Awalnya terasa amat sulit untuk membagikan pergulatan ini kepada orang lain. Jadi untuk tidak terlalu “mendaku” buku ini lebih bernada refleksi-teologis-biblis. Sehingga agak berat dan sedikit susah dipahami oleh orang awam, dan hasilnya tidak laris di pasaran buku rohani. Sampai sekarang tidak cetak ulang. Cetak hanya sekali sebanyak 3000 eks. Dan sudah tidak tahu perkembangannya hingga kini.
Lalu disusul dengan buku DOA HARIAN BUNDA TERESA pada tahun yang sama (2005) dan hingga kini sudah cetak ulang 5 kali (termasuk best seller, sudah tembus 8000 eks lebih). Sedianya buku ini saya minta seorang teman untuk menulisnya. Tetapi karena tidak ada reaksi, maka saya menulis sendiri. Buku ini termasuk buku yang mudah bagi saya karena saya memoles kembali doa-doa dan renungan yang pernah saya berikan dalam pendampingan kepada Kerabat Kerja Ibu Teresa (KKIT) Yogyakarta. Lagi-lagi sampai sekarang saya tidak tahu perkembangan buku itu. Royalti tidak jelas dan kedudukan buku saat ini juga tidak jelas. Meski buku ini termasuk laris, saya tidak masukan dalam kategori monumental. Karena di mana-mana pangsa buku doa memang selalu menarik.
Buku monumental kedua dan termasuk best seller adalah PAUS FRANSISKUS Pregate Per Me (2013). Buku ini mulai ditulis ketika nama Kardinal Jorge Bergoglio diumumkan sebagai Paus Fransiskus menggantikan Paus Emeritus Benediktus XVI (Kardinal Josef Ratzinger). Ketika Paus Fransiskus dikukuhkan dan dalam khotbahnya dia meminta umat mendoakan dia (pregate per me: doakanlah saya), saya mencupliknya sebagai sub judul buku. Buku ini saya terbitkan secara indie dengan penerbitku sendiri. Ketika penerbit besar lainnya baru mau menulis, buku ini sudah empat kali cetak ulang @ 2000 eksemplar. Sebagai syukur atas buku saya yang luar biasa ini, anak kedua kami beri nama Fransisco. Buku ini banyak memberi berkat untuk saya dan keluarga.
Untuk bisa menuliskan sesuatu yang fenomental sekaligus monumental entah itu puisi, cerpen, esai atau buku dibutuhkan kepekaan dan ketajaman intuisi untuk membaca situasi. Kejelian inilah yang akan membuat sebuah tulisan atau buku menjadi best-seller.
Di antara kedua buku ini dan setelahnya, saya telah menulis belasan judul lainnya baik secara pribadi maupun bersama, belum termasuk sebagai kontributor lebih dari 14 judul buku. Dua buku saya yang bergenre amat beda dengan buku-buku sebelumya adalah Pentigraf tentang Bung Karno. Ini mungkin termasuk buku fiksi sejarah pertama berupa tulisan-tulisan pendek sepanjang tiga paragraf.
Dari aneka pengalaman menulis saya hendak menggarisbawahi bahwa tidak selamanya proses penulisan itu berjalan lancar. Saya mesti mengakui bahwa lebih banyak naskah buku yang tidak dan belum jadi daripada yang sudah diterbitkan. Kendala utamanya adalah karena saya tidak konsisten dan tidak setia dengan tema dasar buku yang hendak saya tulis.
Kebutuan ini terjadi selain karena harus menjalankan kerja utama sebagai editor untuk menerbitkan naskah orang lain di penerbitan saya, juga karena saya terlalu mudah menyerah dalam rimba pemikiran sendiri, sehingga sulit menemukan jalan keluar. Kalau sudah buntu saya akan meninggalkan tulisan dimaksud meski proses penulisannya sudah “setengah” jalan. Ini contoh yang tidak baik dan tidak layak ditiru.
Ngarai Perbukuan
Belakangan ini dunia perbukuan sedang mengalami kelesuan. Banyak penerbit yang gulung tikar. Sementara itu banyak penulis yang merasa lebih untung menerbitkan bukunya secara indie dengan sistem POD – print on demand – sesuai dengan kebutuhan sendiri. Sistem ini secara finansial lebih menjanjikan karena penulis yang menentukan harga jual bukunya, dan menikmati sepenuhnya hasil penjualan itu, tidak harus menumpuk di gudang atau toko buku, tidak mengenal sistem konsiyansi karena kebanyakan langsung dibeli tunaim dan tidak perlu sistem royalti dengan penerbit yang hanya 10%, itupun kalau jujur melaporkan kepada penulis.
Meski dunia perbukuan sedang masuk dalam ngarai yang curam di tengah gencarnya e-book dan media sosial, para calon dan penulis mestinya tetap setia memperjuangkan penerbitan buku-buku entah lewat penerbit indie atau penerbit mayor. Karena hanya dengan bukulah kita bisa menjangkau banyak orang, menjangkau dunia yang lebih luas dan lebih jauh.****
Anda ingin membaca kisah-kisah seputar proses kreatif lainnya? Silakan mendapatkan buku PROSES KREATIF DALAM MENULIS Aneka Pengalaman Mengatasi Kesulitan, Bajawa Press: 2018

Comments